Kutatap tajam mata Da Silva. Kupasang kembali kuda-kuda kickboxing sanshou milikku. Mengamati gerakannya, dimana saat ini dia juga masih dengan kuda-kuda capoeira ginga-nya. Aku hanya bergerak mengitarinya sambil mengamati apa yang akan dilakukannya.
Tendangan melingkarnya pun datang sebagai serangan pembuka. Aku segera mengelak. Sikutnya kemudian datang menyusul. Kutangkis dan aku pun berputar membelakanginya, tepat menyentuh bagian depan badannya. Sambil memegang lengannya, sikutku langsung mengincar bagian rusuk. Serangan berikutnya, segera kupuntir lengannya, dan tanpa pikir panjang aku pun langsung membantingnya melewati pinggulku dengan teknik bantingan jujutsu, o-goshi. Da Silva memang berhasil kubanting. Namun, ia selalu saja bisa melancarkan serangan balasan secepatnya. Kakinya yang lentur pun menjungkal menendang wajahku.
Kami berdua saling beradu serangan dan saling menangkis. Beberapa pukulan maupun tendangan dari kami saling menghantam satu sama lain, dan ada pula yang berhasil dielakkan. Serbuan tendangan capoeira terus memaksaku untuk selalu mengelak, sedangkan serbuan pukulan dan tendanganku dengan kombinasi yang tak berpola berusaha mencari celah untuk bisa menyerang tubuhnya. Tidak ada di antara kami yang mau mengalah. Yang ada di pikiran kami sekarang ini hanyalah satu, bertarung sampai titik darah penghabisan.
Kombinasi pukulan tinjuku berhasil menghantam setiap bagian wajahnya, namun tendangan melingkar ke luar Da Silva kali ini balik menghantam wajahku sebelum disusul dengan tendangan back flip yang berhasil membuatku terdorong mundur.
Serangan Da Silva kali ini menjadi lebih tak berpola. Kombinasi pukulan, sikut, dan tendangan melingkar capoeira-nya memaksaku untuk terus menangkis dalam jarak sedekat ini. Aku berusaha untuk terus menekan dan menghentikan setiap serangannya. Celah kesempatan pun datang. Double hook milikku kali ini berhasil masuk mengincar pelipis dan rahangnya. Aku membalikkan keadaan. Setiap tinjuku masuk dan bersarang di tubuhnya. Aku berhasil menekannya. Tanpa ampun, kudorong ia, dan sekali lagi. Aku berputar. Tendangan angin puyuh yang lebih kuat dari sebelumnya kali ini mendarat keras di bagian samping wajahnya. Membuat mouth piece-nya terlepas dari mulutnya sebelum akhirnya terpelanting keras di atas aspal.
Da Silva menjadi lebih bengis. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Bagaikan seekor jaguar yang tidak ingin membiarkan mangsanya lolos, Da Silva langsung melancarkan serangan membabi buta ke arahku. Amarah yang berkobar dalam dirinya membuatnya menyerangku tanpa berpikir lagi. Ia telah dikuasai oleh amarah dalam dirinya. Aku pun tak tinggal diam. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini.
Aku menerjang ke arahnya. Begitu pukulannya datang, kutangkap pukulan itu. Lututku pun langsung bersarang di perutnya. Dalam posisi dimana aku masih menahan lengannya dengan erat, aku segera melakukan teknik flying arm lock. Kaki kiriku langsung melompat melewati lengannya, dan mengait lehernya. Segera kujatuhkan diriku dalam posisi mengunci lengannya hingga ia ikut terbawa oleh berat badanku dan terjatuh sangat keras di atas aspal yang menyebabkan debu beterbangan. Aku masih menguncinya dengan arm lock. Kaki kiriku masih menjepit lehernya, dan kaki kananku menginjak dadanya. Kucengkeram lengan itu. Kutarik lengannya hingga ia berteriak kesakitan akibat sendi lengannya yang kutarik. Da Silva berusaha melepaskan diri, tapi aku tak memberinya kesempatan. Aku yang menguasai pertarungan ini sekarang.
Da Silva berhasil melepaskan diri, tapi aku tak memberinya kesempatan untuk lepas begitu saja. Ia langsung mengganjalku dan memukuliku yang terbaring. Dalam keadaan ini aku menangkis pukulannya. Pukulannya menjadi semakin keras, tapi justru mulai menghabiskan tenaganya. Segera kuraih lengan kanannya yang memukulku, dan kedua kakiku langsung mengunci bagian atas tubuhnya dalam posisi segitiga. Triangle lock, kuncian segitiga. Kedua kakiku menjepit bagian atas tubuhnya yang berhubungan dengan dada, kepala, dan lengan kanannya yang kuraih. Dengan begini ia tidak bisa berusaha memukulku. kalaupun ia memukul, justru itu akan semakin menghabiskan nafas dan tenaganya. Tangan kirinya yang bebas memegang pahaku yang menguncinya, berusaha untuk melepaskan dari kuncianku sekali lagi. Sedangkan lengan kanannya yang berada si dalam kuncian ini sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Triangle lock bukanlah kuncian yang mudah dilepaskan. Hanya petarung yang benar-benar terlatih saja yang bisa melepaskan diri dari kuncian ini. Kedua kaki ini terus menjepitnya. Memberi tekanan yang kuat ke dadanya. Kepalanya terus menatapku. Kuraih kepala Da Silva, dan kutekan bagian belakang kepalanya. Tepat di bagian arteri carotid.
Aku terus menjepitnya. Memaksanya untuk menyerah. Sekarang Da Silva sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Efek dari teknik triangle lock bagi lawan sangatlah berbahaya. Teknik kuncian ini bisa mengakibatkan aliran darah arteri carotid, apalagi yang sedang kutekan di belakang kepalanya saat ini, menjadi terhambat. Efeknya parah. Bisa mengakibatkan pingsan, atau bahkan yang paling parah adalah meninggal. Teknik seperti ini banyak dipakai oleh praktisi Brazililan Jujutsu, Judo, maupun Jujustu.
Da Silva menatapku nanar. Bisa kulihat dengan sangat jelas wajahnya yang berdarah akibat serangan-seranganku tadi. Da Silva mulai kehabisan nafas. Ia mencoba untuk berdiri, dan bisa saja ia membantingku ke aspal tanpa ampun agar ia bisa melepaskan diri. Tapi, itu sudah sangat sulit baginya. Sebentar lagi ia mungkin pingsan. Terus kujepit dia agar ia mau menyerah.
Tap Out, atau tepukkan tangan berkali-kali darinya ke pahaku menegaskan bahwa ia menyerah.
Aku menang...
Kulepaskan kuncian segitiga ini, dan aku pun segera berdiri. Orang-orang tidak percaya melihatku telah mengalahkan da Silva. Yang ada di wajah sebagian besar dari mereka hanyalah rasa kecewa, terutama Johan. Johan sangat kecewa melihat Da Silva berhasil kukalahkan. Sebagian kecil yang mendukungku bersorak melihatku menang, tak terkecuali Ary.
Da Silva duduk tertunduk lesu di atas aspal, sambil memangku tangannya di atas kedua lututnya. Ia tak percaya akan hal ini. Ia telah kalah.
Kuhampiri dia, dan kusodorkan tangan kananku. Kulepas mouth piece dari dalam mulutku. “Good fight.”, ucapku.
Da Silva menatapku. Lalu ia menunduk sejenak, menghela nafas. Disambutnya tanganku dengan jabat tangan darinya. Aku pun membantunya berdiri. Kami berdua saling menatap satu sama lain dengan mantap. “Is your name Ryo?”, tanyanya dengan sambil masih menggenggam jabat tanganku. “Yes, it’s me.”, jawabku tenang. “You’re the best fighter whom I meet the first time. You are the first who can defeat me. Nobody else.”, ujarnya dengan mantap. “I appreciate this fight. This is a good fight, and I hope... someday I can fight you again.”, lanjutnya lagi dengan penuh rasa terima kasih karena pertarungan yang bagus ini baginya. Ia lalu menepuk bahuku, dan tersenyum mantap padaku, sebelum akhirnya ia berlalu.
Sudah hampir tengah malam, dan jalanan di kota Jakarta pun sudah mulai sepi. Tidak begitu banyak kendaraan yang lewat. Angkot dan bus masih tetap ada melaju sesuai trayeknya dengan jumlah penumpang yang tentunya tidak banyak. Sesepi apapun inu kota ini, tapi gemerlap lampu-lampu kotanya masih menerangi dan menemani kota metropolitan ini.
Jip hitam ini berjalan mulus di atas jalan. “ Punggung lu masih sakit, Yo?”, sambil menyetir jip hitamnya, Ary menanyakan kondisiku. Aku menghela nafas panjang. “Masih.”
“Bukan cuma punggung gua doang yang sakit, ini mah semuanya. Sekujur tubuh mah ini, kecuali muka gua. Paling bengkak dikit nih yang di bagian deket pipi.”
Ary terkekeh mendengarnya. “Gua lagi kesakitan gini, elu malah ketawa. Pengen rontok semua ni badan.”, aku hanya bisa mengeluh mendengarnya tertawa. “Hahaha. Sori, bro. Masa’ gua ketawa doang kagak boleh? Becanda doang, Yo.”, pandangan Ary masih terus memperhatikan jalanan yang ada di depannya. “Setidaknya malem ini gua dapet pengalaman, Ry...”, kataku pelan.
“Gua dapet lawan yang bener-bener tangguh banget buat diri gua sendiri. Lebih daripada lawan-lawan gua yang sebelumnya.”, lanjutku lagi. Kulihat Ary hanya tersenyum mendengar apa yang barusan kukatakan.
Aku pun termenung sendirian, menatap sekeliling di luar jendela mobil. Lama-kelamaan aku terbayang akan adik perempuanku. Dialah yang menjadi alasan utama bagiku untuk bertarung dalam hiburan orang kaya seperti ini, pertarungan bawah tanah. Semua yang kulakukan hanyalah untuknya. Hanya untuk membiayai operasi penyakit yang dideritanya saat ini.
“Ryo..”
“Hoi, Ryo!”, panggilan Ary membuyarkan lamunanku. “Ngelamun aja lu, ah. Mikirin apa sih?”
“Gua cuma kepikiran adek gua. Idzni.”, jawabku pelan. Ary hanya diam. “Adek lu pasti sembuh, Yo. Lu selama ini udah berusaha keras bertarung hanya untuk nyari biaya buat operasi adek lu...”
“Sejujurnya, lama-kelamaan gua mulai respek dan menghargai lu. Niat lu baek dan tulus banget. Lu rela berkorban selama ini hanya untuk nolongin adek perempuan yang lu sayangi...”
Aku hanya diam mendengar apa yang dikatakannya. “Gua pasti akan terus bantu lu, Yo, bantuin lu supaya lu bisa membiayai operasi adek lu.”, lanjutnya lagi. Ary melihat ke arahku. Satu kepalan tangan kirinya disodorkan ke arahku. Aku melihat kepalannya, dan mengangguk. “Makasih, Ry.”, kutepuk kepalan tangannya dengan kepalan tanganku. Kami berdua tersenyum satu sama lain.
Jip hitam ini terus berjalan. Mengantarku pulang ke rumah, setelah aku berhasil melewati pertarungan yang sangat melelahkan malam ini.
(Tamat)