Jumat, 13 April 2012

Catatan Sang Petarung (Bagian 3)

Aku teringat akan adik perempuanku, dan di saat itu pula aku merasakan ada sedikit kekuatan yang membuatku untuk ingin melanjutkan pertarungan ini. Aku teringat akan tujuan awalku bertarung. Ya, untuk adikku. Untuk membiayai pengobatan adikku. Gemuruh maupun teriakan penonton sekarang ini rasanya tidak ada apa-apanya bagiku. Semuanya bisa kuacuhkan. Kumantapkan hatiku untuk terus melanjutkan pertarungan ini.
Kutatap tajam mata Da Silva. Kupasang kembali kuda-kuda kickboxing sanshou milikku. Mengamati gerakannya, dimana saat ini dia juga masih dengan kuda-kuda capoeira ginga-nya. Aku hanya bergerak mengitarinya sambil mengamati apa yang akan dilakukannya.

  Tendangan melingkarnya pun datang sebagai serangan pembuka. Aku segera mengelak. Sikutnya kemudian datang menyusul. Kutangkis dan aku pun berputar membelakanginya, tepat menyentuh bagian depan badannya. Sambil memegang lengannya, sikutku langsung mengincar bagian rusuk. Serangan berikutnya, segera kupuntir lengannya, dan tanpa pikir panjang aku pun langsung membantingnya melewati pinggulku dengan teknik bantingan jujutsu, o-goshi. Da Silva memang berhasil kubanting. Namun, ia selalu saja bisa melancarkan serangan balasan secepatnya. Kakinya yang lentur pun menjungkal menendang wajahku.

  Kami berdua saling beradu serangan dan saling menangkis. Beberapa pukulan maupun tendangan dari kami saling menghantam satu sama lain, dan ada pula yang berhasil dielakkan. Serbuan tendangan capoeira terus memaksaku untuk selalu mengelak, sedangkan serbuan pukulan dan tendanganku dengan kombinasi yang tak berpola berusaha mencari celah untuk bisa menyerang tubuhnya. Tidak ada di antara kami yang mau mengalah. Yang ada di pikiran kami sekarang ini hanyalah satu, bertarung sampai titik darah penghabisan.

  Kombinasi pukulan tinjuku berhasil menghantam setiap bagian wajahnya, namun tendangan melingkar ke luar Da Silva kali ini balik menghantam wajahku sebelum disusul dengan tendangan back flip yang berhasil membuatku terdorong mundur.

  Serangan Da Silva kali ini menjadi lebih tak berpola. Kombinasi pukulan, sikut, dan tendangan melingkar capoeira-nya memaksaku untuk terus menangkis dalam jarak sedekat ini. Aku berusaha untuk terus menekan dan menghentikan setiap serangannya. Celah kesempatan pun datang. Double hook milikku kali ini berhasil masuk mengincar pelipis dan rahangnya. Aku membalikkan keadaan. Setiap tinjuku masuk dan bersarang di tubuhnya. Aku berhasil menekannya. Tanpa ampun, kudorong ia, dan sekali lagi. Aku berputar. Tendangan angin puyuh yang lebih kuat dari sebelumnya kali ini mendarat keras di bagian samping wajahnya. Membuat mouth piece-nya terlepas dari mulutnya sebelum akhirnya terpelanting keras di atas aspal.

  Da Silva menjadi lebih bengis. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Bagaikan seekor jaguar yang tidak ingin membiarkan mangsanya lolos, Da Silva langsung melancarkan serangan membabi buta ke arahku. Amarah yang berkobar dalam dirinya membuatnya menyerangku tanpa berpikir lagi. Ia telah dikuasai oleh amarah dalam dirinya. Aku pun tak tinggal diam. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini.

  Aku menerjang ke arahnya. Begitu pukulannya datang, kutangkap pukulan itu. Lututku pun langsung bersarang di perutnya. Dalam posisi dimana aku masih menahan lengannya dengan erat, aku segera melakukan teknik flying arm lock. Kaki kiriku langsung melompat melewati lengannya, dan mengait lehernya. Segera kujatuhkan diriku dalam posisi mengunci lengannya hingga ia ikut terbawa oleh berat badanku dan terjatuh sangat keras di atas aspal yang menyebabkan debu beterbangan. Aku masih menguncinya dengan arm lock. Kaki kiriku masih menjepit lehernya, dan kaki kananku menginjak dadanya. Kucengkeram lengan itu. Kutarik lengannya hingga ia berteriak kesakitan akibat sendi lengannya yang kutarik. Da Silva berusaha melepaskan diri, tapi aku tak memberinya kesempatan. Aku yang menguasai pertarungan ini sekarang.

  Da Silva berhasil melepaskan diri, tapi aku tak memberinya kesempatan untuk lepas begitu saja. Ia langsung mengganjalku dan memukuliku yang terbaring. Dalam keadaan ini aku menangkis pukulannya. Pukulannya menjadi semakin keras, tapi justru mulai menghabiskan tenaganya.  Segera kuraih lengan kanannya yang memukulku, dan kedua kakiku langsung mengunci bagian atas tubuhnya dalam posisi segitiga. Triangle lock, kuncian segitiga. Kedua kakiku menjepit bagian atas tubuhnya yang berhubungan dengan dada, kepala, dan lengan kanannya yang kuraih. Dengan begini ia tidak bisa berusaha memukulku. kalaupun ia memukul, justru itu akan semakin menghabiskan nafas dan tenaganya. Tangan kirinya yang bebas memegang pahaku yang menguncinya, berusaha untuk melepaskan dari kuncianku sekali lagi. Sedangkan lengan kanannya yang berada si dalam kuncian ini sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Triangle lock bukanlah kuncian yang mudah dilepaskan. Hanya petarung yang benar-benar terlatih saja yang bisa melepaskan diri dari kuncian ini. Kedua kaki ini terus menjepitnya. Memberi tekanan yang kuat ke dadanya. Kepalanya terus menatapku. Kuraih kepala Da Silva, dan kutekan bagian belakang kepalanya. Tepat di bagian arteri carotid.

  Aku terus menjepitnya. Memaksanya untuk menyerah. Sekarang Da Silva sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Efek dari teknik triangle lock bagi lawan sangatlah berbahaya. Teknik kuncian ini bisa mengakibatkan aliran darah arteri carotid, apalagi yang sedang kutekan di belakang kepalanya saat ini, menjadi terhambat. Efeknya parah. Bisa mengakibatkan pingsan, atau bahkan yang paling parah adalah meninggal. Teknik seperti ini banyak dipakai oleh praktisi Brazililan Jujutsu, Judo, maupun Jujustu.

  Da Silva menatapku nanar. Bisa kulihat dengan sangat jelas wajahnya yang berdarah akibat serangan-seranganku tadi. Da Silva mulai kehabisan nafas. Ia mencoba untuk berdiri, dan bisa saja ia membantingku ke aspal tanpa ampun agar ia bisa melepaskan diri. Tapi, itu sudah sangat sulit baginya. Sebentar lagi ia mungkin pingsan. Terus kujepit dia agar ia mau menyerah.

  Tap Out, atau tepukkan tangan berkali-kali darinya ke pahaku menegaskan bahwa ia menyerah.

  Aku menang...

  Kulepaskan kuncian segitiga ini, dan aku pun segera berdiri. Orang-orang tidak percaya melihatku telah mengalahkan da Silva. Yang ada di wajah sebagian besar dari mereka hanyalah rasa kecewa, terutama Johan. Johan sangat kecewa melihat Da Silva berhasil kukalahkan. Sebagian kecil yang mendukungku bersorak melihatku menang, tak  terkecuali Ary.
  Da Silva duduk tertunduk lesu di atas aspal, sambil memangku tangannya di atas kedua lututnya. Ia tak percaya akan hal ini. Ia telah kalah.

  Kuhampiri dia, dan kusodorkan tangan kananku. Kulepas mouth piece dari dalam mulutku. “Good fight.”, ucapku.

  Da Silva menatapku. Lalu ia menunduk sejenak, menghela nafas. Disambutnya tanganku dengan jabat tangan darinya. Aku pun membantunya berdiri. Kami berdua saling menatap satu sama lain dengan mantap. “Is your name Ryo?”, tanyanya dengan sambil masih menggenggam jabat tanganku. “Yes, it’s me.”, jawabku tenang. “You’re the best fighter whom I meet the first time. You are the first who can defeat me. Nobody else.”, ujarnya dengan mantap. “I appreciate this fight. This is a good fight, and I hope... someday I can fight you again.”, lanjutnya lagi dengan penuh rasa terima kasih karena pertarungan yang bagus ini baginya. Ia lalu menepuk bahuku, dan tersenyum mantap padaku, sebelum akhirnya ia berlalu.



  Sudah hampir tengah malam, dan jalanan di kota Jakarta pun sudah mulai sepi. Tidak begitu banyak kendaraan yang lewat. Angkot dan bus masih tetap ada melaju sesuai trayeknya dengan jumlah penumpang yang tentunya tidak banyak. Sesepi apapun inu kota ini, tapi gemerlap lampu-lampu kotanya masih menerangi dan menemani kota metropolitan ini.
  Jip hitam ini berjalan mulus di atas jalan. “ Punggung lu masih sakit, Yo?”, sambil menyetir jip hitamnya, Ary menanyakan kondisiku. Aku menghela nafas panjang. “Masih.”
“Bukan cuma punggung gua doang yang sakit, ini mah semuanya. Sekujur tubuh mah ini, kecuali muka gua. Paling bengkak dikit nih yang di bagian deket pipi.”

  Ary terkekeh mendengarnya. “Gua lagi kesakitan gini, elu malah ketawa. Pengen rontok semua ni badan.”, aku hanya bisa mengeluh mendengarnya tertawa. “Hahaha. Sori, bro. Masa’ gua ketawa doang kagak boleh? Becanda doang, Yo.”, pandangan Ary masih terus memperhatikan jalanan yang ada di depannya. “Setidaknya malem ini gua dapet pengalaman, Ry...”, kataku pelan.
“Gua dapet lawan yang bener-bener tangguh banget buat diri gua sendiri. Lebih daripada lawan-lawan gua yang sebelumnya.”, lanjutku lagi. Kulihat Ary hanya tersenyum mendengar apa yang barusan kukatakan.

  Aku pun termenung sendirian, menatap sekeliling di luar jendela mobil. Lama-kelamaan aku terbayang akan adik perempuanku. Dialah yang menjadi alasan utama bagiku untuk bertarung dalam hiburan orang kaya seperti ini, pertarungan bawah tanah. Semua yang kulakukan hanyalah untuknya. Hanya untuk membiayai operasi penyakit yang dideritanya saat ini.

“Ryo..”
“Hoi, Ryo!”, panggilan Ary membuyarkan lamunanku. “Ngelamun aja lu, ah. Mikirin apa sih?”
“Gua cuma kepikiran adek gua. Idzni.”, jawabku pelan. Ary hanya diam. “Adek lu pasti sembuh, Yo. Lu selama ini udah berusaha keras bertarung hanya untuk nyari biaya buat operasi adek lu...”
“Sejujurnya, lama-kelamaan gua mulai respek dan menghargai lu. Niat lu baek dan tulus banget. Lu rela berkorban selama ini hanya untuk nolongin adek perempuan yang lu sayangi...”

 Aku hanya diam mendengar apa yang dikatakannya. “Gua pasti akan terus bantu lu, Yo, bantuin lu supaya lu bisa membiayai operasi adek lu.”, lanjutnya lagi. Ary melihat ke arahku. Satu kepalan tangan kirinya disodorkan ke arahku. Aku melihat kepalannya, dan mengangguk. “Makasih, Ry.”, kutepuk kepalan tangannya dengan kepalan tanganku. Kami berdua tersenyum satu sama lain.

 Jip hitam ini terus berjalan. Mengantarku pulang ke rumah, setelah aku berhasil melewati pertarungan yang sangat melelahkan malam ini.


(Tamat)

Catatan Sang Petarung (Bagian 2)

  Akhirnya kami tiba di sebuah gudang kontainer di daerah Bekasi, yang letaknya berada di pinggir Jakarta. Dari jauh pun sudah bisa terlihat beberapa mobil, motor, dan sekerumunan orang yang berkumpul di tengah-tengah lapangan di gudang kontainer ini. Rata-rata yang berkumpul di situ adalah para orang kaya, yang betul-betul berjudi dan mempertaruhkan uangnya untuk melihat pertarungan bawah tanah ini. Mereka semua menunggu kedatangan kami. Tak sabar menunggu diadakannya hiburan yang brutal dan sangat berbahaya.

  Ary dan aku segera turun dari mobil. Ary menyuruhku untuk menunggu sebentar, dia ingin bernegosiasi mengenai harga taruhan pertarungan ini. Dia berjalan menghampiri para orang kaya tersebut yang masing-masing ditemani kolega, pengawal pribadi, maupun anak-anak buahnya. Sebagian besar orang memperhatikanku dengan pandangan sinis. Berkeyakinan bahwa aku pasti kalah dalam pertarungan ini. Aku pasti akan segera habis dibantai si petarung Brazil itu. Ary masih sementara bernegosiasi dengan Andrie, si ‘calo’ pertandingan ini, Johan, si konglomerat kaya yang bersetelkan jas kulit ular dan bertopi koboi Amerika, dan seorang lagi besetelan jas hitam yang sama sekali tidak kukenali. Sesekali mereka menatap ke arahku dan ke seseorang yang sedang berada di dalam mobil sedan Toyota Lancer hitam. Mobil itu dijaga dari luar oleh dua orang berjas hitam.

  Negosiasi sepertinya tidak berlangsung lama, hanya berlangsung selama beberapa menit. Ary berjabat tangan dengan Johan dan seorang bersetelan jas hitam sebagai tanda sepakat akan harga negosiasi taruhan pertarungan ini. Bisa kulihat tawa percaya diri dari Johan. Johan merasa yakin bahwa petarung andalannya kali ini pasti akan mengalahkanku. Ary hanya terlihat tenang dan segera menghampiriku, lalu menceritakan hasil negosiasi tersebut.
“Gua udah negosiasi ama mereka...”,
“Lu lihat orang yang itu? Yang nego ma gua barusan, yang bareng Johan. Lu lihat?”, tunjuknya ke arah pria bersetelan jas hitam tersebut yang bersama Johan. Aku mengangguk. “Orang itu namanya Hardi. Dia ngejagoin elu. Dia berani bayar 8 juta kalo lu bisa ngalahin petarung Brazil-nya si Johan, dan gua udah deal ama dia mengenai harga negosiasi ini.”, lanjutnya lagi sambil menegaskan hasil negosiasi tersebut. Aku melihat ke arah pria itu. Dia balas melihatku dan tersenyum yakin kepadaku.
“Oke. Berapapun harganya, gua bakal tarung. Gak masalah buat gua.”, aku hanya berkata tenang. Menyetujui hasil negosiasi itu. “Hmm, oke lah kalo gitu. Sekarang, persiapin diri lu. Inget saran gua yang tadi di mobil. Oke?”, Ary mengingatkanku kembali akan sarannya di mobil tadi sebelum menepuk bahuku. Aku mengangguk mantap, mengiyakan bahwa aku mengingatnya.

  Aku berjalan ke tengah-tengah lingkaran kerumunan orang-orang ini sambil mengenakan MMA gloves milikku sendiri. Kedatanganku disambut dengan ricuh oleh sebagian besar mereka yang menganggap bahwa aku pasti akan kalah.hanya sebagian kecil dari kerumunan ini yang mempertaruhkan uangnya untuk kemenanganku. Beberapa dari mereka sudah bersiap-siap memasang taruhan. Aku hanya berdiri tenang, fokus untuk pertarungan ini. Sedari tadi sudah kuacuhkan cemooh maupun kericuhan mereka. Kumasukkan mouth piece ke dalam mulutku sebagai pelindung gigiku. Yang kutunggu saat ini hanyalah satu.... ORANG BRAZIL itu.

  Pintu belakang mobil sedan itu pun dibuka oleh salah seorang penjaga yang berjaga di luar mobil. Sesosok manusia berjaket tudung dan celana training hitam keluar dari mobil. Ia berjalan gagah, namun santai, sambil meninju kedua kepalan tangannya yang mengenakan MMA gloves yang sama sepertiku, hanya saja berwarna dasar hitam dan hijau. Dari balik jaket bertudung hitam itu bisa kurasakan sorot mata yang tajam, yang sangat menginginkan pertarungan. Kedatangannya disambut sorak sorai oleh kerumunan ini, sangat berbeda sekali dengan kedatanganku tadi. Sorak-sorai mereka membahana di area luas ini. Mereka menyorakinya seakan-akan bahwa hanya dialah seorang pahlawan. Sebagian besar dari kerumunan ini mempertaruhkan seluruh kemenangan mereka pada orang Brazil ini. Mereka yakin bahwa orang Brazil inilah yang akan menang. Dari sorak-sorai mereka bisa kuketahui bahwa nama orang ini adalah Da Silva. Rodrigo Da Silva.

  Da Silva kemudian melepaskan jaketnya sebelum menghampiri Johan.  Rambut aslinya ternyata gimbal dan diikat ponytail. Otot-otot tubuh bagian atasnya telah terbentuk dan lebih besar dari ototku, meskipun tidak sekelas binaragawan. Bisa kulihat juga punggungnya yang bertato ular bersayap yang melilit longgar sebuah pedang, Quetzacotl, salah satu dewa dalam mitologi kepercayaan suku Aztec dan Maya kuno di Amerika Selatan yang dipercaya sebagai dewa angin. Tato itu barangkali memiliki simbol tersendiri bagi Da Silva yang menandakan kepribadiannya  sebagai petarung, meskipun aku tak tahu apa maksud simbol tato tersebut baginya. Da Silva kelihatannya sedang membicarakan sesuatu dengan Johan sebelum akhirnya ia kembali menuju ke tengah-tengah arena bertarung ini.
  Da Silva mengulum mouth piece-nya sebelum bertarung. Kelihatannya laki-laki gimbal ini petarung yang tenang tapi serius. Itu yang bisa kubaca dari sikapnya sekarang ini. Kami berdua berjalan ke tengah arena ini. Saling menatap tajam satu sama lain. Bisa kurasakan perbedaan tenaga dan tekanan antara kami berdua, hanya dengan satu tujuan, bertarung sampai titik darah penghabisan. Da Silva menyodorkan kepalan tinjunya ke arahku, lalu mengangguk. Kusentuhkan kepalan tinjuku ke kepalan tinjunya, dan...

“MULAI!”

  Teriak seseorang yang bertindak untuk memimpin pertandingan ini. Tiba-tiba sebuah tendangan memutar ke belakang datang, membabat wajahku. Tendangan itu sangat cepat, dan secara refleks aku berhasil mengelak dari bahaya tersebut. Tapi, serangan itu masih berlanjut. Kaki kanannya yang tadi menyerangku kemudian kembali berayun dari samping yang otomatis membuatku segera menangkisnya cepat. Serangan pembuka tersebut sudah sangat cukup untuk membuatku terkejut.

  Pukulan cross kiriku pun segera mengincar wajahnya, namun berhasil dihindari olehnya. Kupaksa ia untuk bertarung jarak dekat. Setiap tendanganku datang berusaha mengenainya, tapi selalu luput. Ia lebih gesit daripada yang kubayangkan. Setiap seranganku berhasil dihindarinya dengan lompatan, salto, maupun gerakan menghindar akrobatik lainnya. Seperti seekor monyet. Di saat itu pula, ketika aku berusaha melancarkan spinning back kick dalam jarak dekat, Da Silva segera menemukan celah. Ketika tubuhku berputar ke belakang untuk menendangnya, Da Silva langsung mendorong pinggangku dengan punggungnya hingga membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh.

  Da Silva berhasil menjatuhkanku. Sebelum serangan berikut darinya datang, aku segera mencoba untuk berdiri, tapi satu tendangan berputar bak cakram darinya memaksaku untuk menundukkan badan sebelum akhirnya aku benar-benar bisa berdiri dengan cepat.Tanpa pikir panjang, segera kuayunkan pukulan hook kiriku yang menghantam  pipinya. Disusul dengan satu pukulan hook kanan yang tepat mengenai rahangnya dengan keras. Da Silva ternyata sangat cerdik. Sebelum seranganku yang berikutnya datang, push kick-nya segera mendorongku mundur sebelum ia berguling mundur ke belakang.

  Kedua mata kami saling memperhatikan gerakan masing-masing. Kuakui aku sendiri cukup kewalahan menghadapi Da Silva. Bisa kurasakan perbedaan teknik di antara kami berdua. Teknik kami masing-masing nyaris seimbang. Kerumunan orang-orang yang menjadi penonton ini bersorak-sorai meihat pertarungan kami berdua. Sebagian besar orang yang mendukung Da Silva segera berteriak ricuh memaksaku untuk kalah, sedangkan untuk Da Silva, mereka sangat mendukungnya, menyuruhnya untuk segera menyelesaikanku secepatnya. Sebagian kecil orang yang mendukungku segera memberiku semangat untuk segera menghabisi Da Silva.

  Da Silva pun mengitariku sambil melakukan ginga, kuda-kuda dalam capoeira. Tiada henti baginya untuk terus bergerak. Aku hanya berdiri dan mengitari poros di tempatku berpijak saat ini. Mengamati setiap gerakannya, sekaligus mewaspadai serangan tiba-tiba yang bakal dilancarkannya. Kami saling mengamati satu sama lain dalam jarak yang saling berjauhan.

  Dalam jarak yang berjauhan, tendangan saltonya yang mengincar bagian atas kepalaku datang secara tiba-tiba. Memaksaku untuk segera mengelak ke samping. Serangan mendadaknya berhasil mengejutkanku. Tapi, serangan itu belum berhenti sampai di situ. Dia memaksaku untuk terus mengelak dengan setiap tendangan berputar dan melingkarnya. Tanpa memberiku celah untuk bergerak bebas. Kali ini Da Silva yang memaksaku bertarung jarak dekat.
  Aku berusaha memanfaatkan keadaan. Saat serangan beruntunnya terhenti, segera kulayangkan setiap tinjuku menuju wajahnya, namun sayang semua itu berhasil ditangkisnya. Da Silva sungguh tidak memberiku kesempatan untuk menyerang. Dia membatasi setiap gerakan maupun serangan, dan terus mendesak pertahananku. Da Silva kemudian berputar, kakinya berayun menyapu, mencoba untuk menjegal salah satu kakiku. Namun yang ada, justru sapuan tersebut memaksa untuk bersalto demi menghindari serangannya.     Tanpa pikir panjang, lutut kirinya segera menghujam hidungku begitu aku mendarat di atas tanah. Darah segar mengalir dari hidungku. Serangan lutut barusan membuatku pening sesaat. Bagaikan kawanan hiu yang belingsatan melihat darah, semuanya pun langsung bergemuruh sorak-sorai.
  Keadaan yang terpaksa ini membuatku mencoba untuk mundur dari serangannya, meskipun apa yang kulakukan ini justru menambah jarak serangannya. Mengingat bahwa capoeira juga adalah teknik bertarung yang memanfaatkan jarak jauh. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini, kudapatkan satu kesempatan. Aku segera melompat berputar begitu ia berusaha mendekatiku, hingga akhirnya, tendangan berputarku berhasil menghantam keras bagian depan wajahnya. Da Silva terhempas ke samping setelah menerima tendanganku barusan. Aku berhasil mengembalikan keadaan.

  Aku teringat kembali akan saran Ary agar aku harus mengunci setiap gerakannya. Aku kembali mendesaknya dengan jarak yang sangat dekat. Setiap pukulan kombinasi tinjuku berhasil mendarat tepat di pipi, hidung, dada, dan perutnya. Sekarang aku yang tidak memberinya kesempatan untuk menyerang balik. Begitu ia terdorong mundur dengan jarak yang cukup jauh, kumanfaatkan momen tersebut dengan langsung menyerang maju dan melakukan tendangan angin puyuh. Namun, Da Silva tetaplah petarung yang sangat jeli. Dia berhasil mengelakkan tendanganku dan melompat di hadapanku. Dia segera melancarkan drop kick dengan kedua kakinya, yang berhasil menghantam keras dadaku hingga terhempas mundur, sebelum akhirnya ia terjatuh mendarat di ata aspal yang keras ini.

  Da Silva membayangiku dengan maju sambil berputar menyamping di depanku. Melakukan gerak tipu untuk memaksaku melangkah mundur dengan cepat. Tendangan berputarnya pun datang sebagai penutup gerakan tipu ini. Begitu tendangannya berhasil kuelak, aku segera maju, melayangkan tinjuku ke arahnya. Sekali lagi, dia tetap petarung yang sangat jeli dan sangat bisa memanfaatkan keadaan. Entah pertarungan maupun strategi bertarung apa yang dilakukannya dalam setiap kerasnya pertarungan jalanan di Brazil. Dia sudah sangat cukup membuatku kewalahan. Kaki kirinya segera mengait lenganku. Menarikku paksa hingga aku terpelanting di atas aspal dengan sangat keras. Dalam posisi seperti itu, dimana aku terbaring akibat jatuh dan kaki kirinya masih mengait lengan kananku, di situlah ia secepatnya berusaha melakukan kuncian lengan, arm bar. Menyadari hal itu, aku segera menarik balik lengan kananku dengan lengan kiriku yang bebas. Tenaga kami berdua saling memaksa satu sama lain. Yang kulakukan sekarang ini adalah untuk mencegah agar lenganku tidak dipatahkan olehnya. Jika sampai lenganku patah, maka berakhirlah semuanya. Da Silva begitu gigih ingin segera menyelesaikan ini. Namun di saat itu juga, segera kuayunkan salah satu kakiku sekeras-kerasnya hingga menendang kepalanya. Membuat kuncian di lenganku terlepas sehingga aku bisa meloloskan diri.

  Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit. Kulakukan sedikit gerak tipu pada Da Silva. Aku bersalto ke arahnya, seakan-akan aku akan melakukan tendangan salto. Da Silva segera mengambil langkah mundur, terpancing oleh gerakanku bahwa aku akan menyerang. Segera kuubah gerakanku hingga berputar menyamping. Tendangan angin puyuh. Kaki kananku melayang tinggi dan menghantam keras di bagian pipinya, nyaris mengenai rahang. Membuatnya terpelanting keras ke samping sebelum akhirnya menghantam aspal dengan keras. Penonton yang mendukungku langsung berteriak kegirangan begitu melihatku berhasil menjatuhkan Da Silva. Seranganku berhasil menjatuhkannya dua kali,  meskipun Da Silva lebih mendominasi pertarungan ini.

Aku harus lebih berhati-hati.

Pukulan hook milikku langsung mengincar wajahnya begitu ia berusaha bangun. Dengan sigapnya, ia secepatnya menangkap tanganku. Melakukan counter attack. Sikutnya langsung berbalik mengincar wajahku. Da Silva lantas langsung menarik dan menghempaskanku. Namun, aku berusaha untuk lebih jeli lagi dari dia. Sebelum aku terhempas ke tanah, aku segera berguling untuk mencegah diriku terhempas di atas aspal yang keras ini. Aku segera bangkit, dan Da Silva berhasil mengambil kesempatan. Ia sudah lebih dulu menghampiriku. Belum sempat bagiku untuk berdiri sepenuhnya, kaki kirinya langsung mengait pergelangan kakiku, dan lutut kirinya segera mendorong pahaku dengan memanfaatkan kakiku yang terkait. Menjegalku, berhasil membuatku jatuh hilang keseimbangan, dan terguling ke belakang.

  Aku mencoba berdiri, dan mengambil jarak yang cukup jauh darinya. Badanku rasanya ingin rontok semua. Nafasku mulai kelelahan, tapi keinginanku untuk masih tetap ingin bertarung memaksaku untuk tetap melanjutkan pertarungan ini. Tidak ada jalan lain selain aku harus menyelesaikan pertarungan ini secepatnya. Aku mulai menyadari perbedaan antara diriku dengan Da Silva. Entah pertarungan jalanan keras macam apa yang sudah dilaluinya sampai membuatnya secerdik, segesit, dan sekuat ini. Berbekal kemampuan bertarungnya di jalanan ternyata telah membuat teknik capoeira menjadi berkembang seperti. Hanya difokuskan untuk bertarung, dan mencari kemenangan. Baru kali ini, dan baru pertama kali ini aku berhadapan dengan ahli capoeira, apalagi yang sehebat Da Silva sekarang ini.

(BERSAMBUNG)

Catatan Sang Petarung (Bagian 1)

 Kuteguk sebotol air mineral, dan sungguh nikmat. Bisa kurasakaan saat itu juga air yang mengalir dan membasahi tenggorokanku. Rasa dahagaku yang muncul ketika aku sedang menunggu seseorang, akhirnya terobati sudah.

  Sudah hampir satu jam aku duduk menunggu di halte stasiun Tanjung Barat ini, menunggu temanku. Menunggu dari sejak selesai maghrib hingga sekarang, beberapa menit setelah adzan shalat Isya. Kuakui memang, jalanan dari arah Depok hingga Pasar Minggu bila menjelang jam pulang kerja selalu macet, tapi itu tergantung situasinya. Karena kadang kondisi jalanan juga bisa berubah menjadi lancar atau bahkan biasa saja. Kondisi jalanan saat ini memang macet, itu bisa kulihat dari tempatku duduk di stasiun ini. Ku berpikir, mungkin itu sebabnya temanku mungkin terlambat datang.

  Kuperhatikan berbagai macam orang yang berlalu-lalang di stasiun ini. Petugas loket yang sepertinya santai-santai saja menghadapi para calon penumpang yang ingin membeli tiket kereta menuju ke arah stasiun lain sebagai tempat tujuan mereka. Calon penumpang yang tidak terlalu ramai menurutku, apalagi untuk jam seperti ini. Beberapa dari petugas keamanan ada yang sedang bercanda dengan rekan sejawat, bahkan ada yang duduk diam, dan merokok, sembari menunggu para penumpang dari kereta berikutnya yang turun di stasiun ini untuk diperiksa karcisnya. Sementara itu, beberapa kereta yang berbeda jenisnya datang melintas dan berhenti di stasiun ini dengan jumlah penumpang yang menurutku mudah diprediksi bila dilihat dari arah datang dan ke mana tujuannya. Bila kereta dari arah Bogor menuju Jakarta, baik itu ekonomi biasa maupun ekonomi AC, penumpang selalu tidak begitu penuh bila jam pulang kerja seperti ini. Namun, bila kereta datang dari arah sebaliknya, itu sangat berkebalikan. Bisa kulihat tidak sedikit penumpang yang bergelantungan di pintu kereta, bahkan duduk di atap kereta, seakan-akan tidak peduli dengan maut, akibat penumpang yang membludak di setiap gerbong kereta. Para petugas keamanan pun rasanya pasti sudah tidak bisa menertibkan hal ini. Karena ini sudah mengakar menjadi seperti suatu budaya yang tidak bisa dihapuskan, apalagi mengingat bahwa hal seperti ini sudah sangat biasa di kota metropolitan seperti Jakarta ini.

  Mataku terus memperhatikan setiap orang. Banyak orang yang berlalu lalang di stasiun ini untuk pergi menuju ke tempat di seberang mereka. Para pedagang asongan, kios, maupun gerobak yang begitu tenangnya menjajakan dagangan bahkan menunggu saja dagangannya dibeli. Beberapa preman maupun jagoan kampung bertato yang kadang lewat maupun nongkrong enggak  jelasYah, hal-hal itulah yang terjadi setiap hari di stasiun ini dan yang kuperhatikan dengan mata kepalaku saat ini.

  Tak lama kemudian, sebuah mobil jip hitam berhenti di depan stasiun. Di samping jalanan yang sekarang ini sudah tidak terlalu macet. Menarik perhatian sebagian kecil orang di stasiun ini. Kaca mobil dibuka, dan bisa kulihat wajah berusia sekitar sepuluh tahun di atasku yang sedang kutunggu saat ini, Ary.
“Sori lama, boy. Tadi ada urusan di Margonda. Apalagi pas mau ke sini,... Beuuuhhh.... macet banget tuh di daerah deket pasar Lenteng. Biasa tuh daerah situ. Hehehehe.”, ujarnya dengan senyum menyeringai dari wajahnya.
“Gak apa, bro! Emang biasa kali daerah situ! Hahaha”.
Aku beranjak dari tempatku duduk. Kubuang sebotol air mineral yang habis kuteguk ke dalam tempat sampah, lalu kuhampri ia di depan kaca jendela mobilnya. “Sori ya lama, tapi kita harus cepet-cepet nih. Kita gak boleh lama sekarang ini.”, ucapnya sambil menepuk kemudian menjabat tanganku, seperti salam anak muda jaman sekarang ini pada umumnya. Kuperhatikan sekitar jalan, kubuka pintu mobil di sebelahnya, dan aku pun segera masuk.
“Ayo cepet!”.


  Jip hitam ini melesat melewati sepanjang jalanan kota Jakarta, meskipun aku sendiri sebenarnya tidak tahu ke mana Ary akan membawaku. Selama perjalanan aku hanya diam, menatap ke luar jendela, dan sesekali aku memperhatikan Ary. Ia begitu santai. Mengemudikan mobilnya sembari mengisap sebatang rokok LA Lights, ditemani alunan musik ‘The Actor´MLTR. Sesekali ia ikut menyanyikan salah satu lirik lagu tersebut. Santai sekali dirinya, seakan tidak ada yang jadi masalah di dalam pikirannya. Padahal aku sendiri tahu, apa yang akan kita berdua hadapi nanti.

Pertarungan bawah tanah.

Ya, pertarungan bawah tanah. Bertarung secara vale tudo, yang berarti semua diperbolehkan dan tidak ada aturan yang mengikat, di dunia bawah tanah kota Jakarta ini. Dia sebagai promotorku, dan aku yang bertarung di atas arena. Bertarung sebagai aduan orang-orang kaya di dunia bawah tanah Jakarta.

  Aku mengerti apa yang ada di pikirannya, tentunya diriku, dan pastinya... uang. Uang hasil dari pertarungan yang didapat sangatlah besar jumlahnya. Hanya dalam sekali bertarung. Bila menang, maka otomatis bayaran yang kami terima sangatlah besar, dan bila kalah, malah sebaliknya, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Oleh karena itu, kami berdua sangat memikirkan dan memperhitungkan sekali masalah ini. Kami berdua memang sangat butuh uang, untuk keperluan kami masing-masing, dan terpaksa harus bekerja dengan cara bertarung seperti ini, meskipun sebenarnya Ary tidak terlalu begitu peduli dengan uang untuk dirinya, dia hanya memikirkanku saja. Itu yang sebenarnya ada si dalam pikirannya, mungkin berat baginya, tapi ia berusaha bersikap santai, dan tidak menganggap ini menjadi beban, meskipun ia sebenarnya sangat menyayangkan sekali bila aku kalah. Ary sudah menjadi seperti partner bagiku. Di balik sikap santai dan angin-anginannya, dia merupakan pemikir sekaligus ahli strategi yang cerdik, dan bahkan rela bertaruh agar aku bisa menang dalam setiap pertarungan.

  Sedangkan aku, aku adalah petarung. Tugasku sederhana, bertarung sampai menang. Meskipun sebenarnya ini sangat sederhana, tapi kenyataannya sangatlah berbeda dengan apa yang ada di atas arena. Lawan-lawan yang sangat kuat, yang bertarung secara brutal, dan tanpa aturan. Tidak seperti pertandingan olah raga beladiri yang sebagian besar masih menetapkan aturan untuk melindungi keselamatan kedua peserta yang bertarung, memakai pelindung di beberapa bagian tubuh, tidak boleh menyerag bagian tubuh ini, dan sebagainya. Tidak seperti itu. Dalam pertarungan bawah tanah, hukum rimba sangatlah berlaku tanpa pandang bulu. Siapa yang kuat, dialah yang menang, dan siapa yang lemah, dialah yang akan tertindas. Itulah yang terjadi. Sangat berbeda 180 derajat dengan pertandingan beladiri yang kita ketahui pada umumnya. Di atas arena, kita akan menemukan berbagai macam lawan dengan teknik dan strategi bertarung yang berbeda-beda, memperbolehkan cara-cara kotor tanpa diketahui – atau bahkan sebenarnya diketahui, namun hanya didiamkan saja – oleh wasit. Hanya sedikit jenis petarung yang bertarung dengan menggunakan kode etik seorang petarung sejati yang akan kau temukan. Semuanya bertarung sebagai ayam aduan dan dipertontonkan di depan para borjuis, konglomerat, pengusaha kaya, dan sebagainya, hanya sebagai hiburan yang beresiko tinggi dan berbahaya. Bagi petarung sendiri, hanya untuk dua hal alasan mereka bertarung, untuk harga diri dan untuk uang.
Inilah dunia bawah tanah Jakarta.

  “Melamun aja lo, Yo! Hahaha.”, celetuk Ary yang saat itu pula langsung membuka suasana. “Mikirin apa dah?”, lanjutnya yang kemudian menatapku dengan cepat. Aku hanya tersenyum dan menatap balik. “Gak ada apa-apa.”, jawabku tenang. “Aah, yang bener lo? Apa lagi mikir jorok kali lo ya? Ckckck... eh, nyebut lo, nyebut, hehe.”, candanya lagi.
“Apaan dah? Nyeletuk aja lu, ah.”, balasku sambil menyeringai. Ary terlihat begitu fokus mengendarai mobil jipnya. “Diem aja sih lagian. Ngobrol dong, mas! Hahaha.”, Ary hanya tertawa ringan. Santai tapi humoris sekali orang ini. Aku hanya tertawa ringan mendengar barusan yang ia katakan.
Jip hitam ini terus melaju, tapi aku tidak tahu daerah yang sedang kami berdua lewati sekarang ini.
“Gimana persiapan lo, Yo? Dah siap buat pertarungan malem ini?”, Ary kembali membuka pembicaraan. Aku masih menatap ke luar jendela mobil. “Gua mah siap-siap aja, Ry.”, jawabku tenang. Ary hanya diam, mengemudi sambil memperhatikan jalanan di depannya. “Jawaban lo ituuu mulu yang sering gua denger, “Gua mah siap-siap aja.”. Kagak ada jawaban laen apa? Sekali-kali kek lo jawab lo kagak siap gitu.”, balasnya sambil melirik ke arahku. Aku tertawa mendengar apa yang barusan dia katakan.
“Yee.. lo malah ketawa....”.

“Tadi siang gua dikasih tau sama orang yang ngadain pertarungan malem ini. Katanya lawan lu ntar orang luar, orang Brazil. Petarung jalanan yang paling terkenal di di kotanya dia di Brazil, Brasilia.”, ujar Ary. Ia menjelaskan kepadaku mengenai petarung yang akan jadi lawanku malam ini.
“Hehehe, ada-ada aja lu, Ry.”.
“Ada-ada aja ngapa dah?”
“Petarung jalanan mah mana ada terkenal-terkenalnya, Ry. Hahaha, mikir dong. Lo kata artis kali yee. Gimana sih, hehehe.”.
“Terserah apa kata lo dah. Mau gua lanjutin lagi apa enggak nih?”.
“Iya, iya, lanjut.”.
  Ary kembali melanjutkan penjelasannya. “Si orang Brazil itu katanya petarung bayarannya si Johan, si konglomerat maniak berantem itu, yang petarung bayaran andalannya dia lu kalahin di pertarunga pertama lu.”. “Hmm.. Johan yang itu. Banyak juga ya duitnya buat nyewa petarung-petarung hebat. Nggak habis pikir gua.”, pembicaraan ini mulai manjadi serius. “Lu tahu kan si Johan itu konglomerat, belum lagi dia itu salah satu pengusaha yang punya pengaruh besar di dunia bisnis Jakarta. Saking kayanya aja, dia bahkan punya koneksi ma dunia hitam. Beberapa kali juga dia sering lolos dari jeratan hukum. Apalagi kayak sekarang, dia bahkan bisa nyewa petarung jalanan dari Brazil. Bener-bener maniak hiburan pertarungan dia. Dia cuma mau hiburan lewat pertarungan kayak gini, dan dia juga gak mua petarung andalannya kalah. Beginilah orang yang punya kekayaan ndan kekuasaan, apa pun semuanya jadi tanpa protes.”.
“Gua ngerti, Ry, tapi gua gak peduli masalah si Johan itu, yang gua pengen tahu sekarang lawan gua dari Brazil ini. Itu aja.”, aku meminta penjelasannya kembali mengenai petarung Brazil tersebut. “Oke, oke, sori kalo nyampe ngomongin masalah Johan. Begini, gua nggak tahu siapa nama orang Brazil yang bakal jadi lawan lu malam ini. Soalnya si Andrie, yang ngadain tuh, dia nggak ngasih tau mengenai namanya. Andrie cuma ngasih tahu bahwa si orang Brazil ini udah bertarung di pertarungan bawah tanah ini udah satu bulan. Dari dua belas kali pertandingan, dia nggak pernah kalah. Semua lawan dibabat ma dia, dibikin KO. Kuat banget kata si Andrie. Andrie nyaranin lu harus hati-hati. Karena lawan lu kali ini gak main-main.”, lanjut Ary.
“Style berantemnye apa?”, aku menjadi bertambah semakin penasaran dengan calon lawanku ini. “Style berantemnya capoeira, ditambah lagi dengan sebagian teknik-teknik street fighting.”, lanjutnya lagi.
“Masih ada lagi yang disampein dari Andri mengenai si orang Brazil itu?”, tanyaku lagi. “Enggak ada lagi, cuma itu aja. Tapi Andrie cuma nyuruh gua ngomong ke elu. Lu harus hati-hati. Karena lawan lu kali ini sangat beda dengan lawan yang selama ini lu hadapin. Lawan lu kali ini kelihatannya bener-bener lebih hebat satu tingkat di atas beberapa lawan tersulit yang pernah lu hadapi dalam setiap pertarungan. Si orang Brazil ini gak main-main. Cuma itu aja mungkin yang bisa gua omongin sekarang.”.
“Ryo, gua cuma mau bilang ke elu. Emang gua bukan petarung, bahkan juga sama sekali gak bisa berantem, tapi biarpun begitu, gua sering ngeliat orang berantem, apalagi kalo urusan berantem brutal kayak gini. Gua hanya mau lu waspada ma orang Brazil itu. Lu pastinya tau kalo orang capoeira itu banyak gerakannya kan? Gerakannya mengalir kayak air. Gerakannya bisa kayak ular dan bisa juga menipu lu, belum lagi setiap tendangannya. Tendangannya emang akrobatik, tapi tenaga yang dihasilkannya itu besar. Kayak palu. Ditambah lagi, lawan lu itu orang Barat. Perbedaan tenaga lu dengan dia pasti berbeda...”

  Aku terdiam dan mendengar setiap sarannya dengan serius. Karena aku tahu dan seperti yang  dikatakan barusan, Ary sama sekali tidak bisa bertarung, tapi dia sering melihat orang bertarung. Ary itu cerdik, dibalik kekurangannya tersebut, dia bisa berpikir dan menciptakan suatu strategi yang selama ini sangat efektif dalam membantuku bertarung dengan lawan-lawanku.
“Tapi lu pasti tahu lah, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatoh juga lah. Sekuat apapun lawan lu, pasti ada celah yang sangat gampang buat buat diserang balik. Saran gua, usahakan hindari setiap tendangannya, tapi jangan mau tertipu ma setiap gerakan tipuannya, dan.... cobalah untuk cari celah lalu kunci gerakannya. Kalo lu bisa ngelakuin itu, gua yakin lu pasti menang. Itu aja mungkin yang bisa gua saranin. Semangat, boy!”.
Saran dari Ary sudah cukup berguna untukku, dan sekarang, aku hanya perlu fokus dengan pertarunganku yang akan kulakukan malam ini. Kuakui memang ada sedikit ketegangan dalam diriku. Tapi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menenangkan diriku dan menjadikan ketegangan itu sebagai tantangan maupun motivasi bagiku untuk bertarung.


(BERSAMBUNG)