Jumat, 13 April 2012

Catatan Sang Petarung (Bagian 2)

  Akhirnya kami tiba di sebuah gudang kontainer di daerah Bekasi, yang letaknya berada di pinggir Jakarta. Dari jauh pun sudah bisa terlihat beberapa mobil, motor, dan sekerumunan orang yang berkumpul di tengah-tengah lapangan di gudang kontainer ini. Rata-rata yang berkumpul di situ adalah para orang kaya, yang betul-betul berjudi dan mempertaruhkan uangnya untuk melihat pertarungan bawah tanah ini. Mereka semua menunggu kedatangan kami. Tak sabar menunggu diadakannya hiburan yang brutal dan sangat berbahaya.

  Ary dan aku segera turun dari mobil. Ary menyuruhku untuk menunggu sebentar, dia ingin bernegosiasi mengenai harga taruhan pertarungan ini. Dia berjalan menghampiri para orang kaya tersebut yang masing-masing ditemani kolega, pengawal pribadi, maupun anak-anak buahnya. Sebagian besar orang memperhatikanku dengan pandangan sinis. Berkeyakinan bahwa aku pasti kalah dalam pertarungan ini. Aku pasti akan segera habis dibantai si petarung Brazil itu. Ary masih sementara bernegosiasi dengan Andrie, si ‘calo’ pertandingan ini, Johan, si konglomerat kaya yang bersetelkan jas kulit ular dan bertopi koboi Amerika, dan seorang lagi besetelan jas hitam yang sama sekali tidak kukenali. Sesekali mereka menatap ke arahku dan ke seseorang yang sedang berada di dalam mobil sedan Toyota Lancer hitam. Mobil itu dijaga dari luar oleh dua orang berjas hitam.

  Negosiasi sepertinya tidak berlangsung lama, hanya berlangsung selama beberapa menit. Ary berjabat tangan dengan Johan dan seorang bersetelan jas hitam sebagai tanda sepakat akan harga negosiasi taruhan pertarungan ini. Bisa kulihat tawa percaya diri dari Johan. Johan merasa yakin bahwa petarung andalannya kali ini pasti akan mengalahkanku. Ary hanya terlihat tenang dan segera menghampiriku, lalu menceritakan hasil negosiasi tersebut.
“Gua udah negosiasi ama mereka...”,
“Lu lihat orang yang itu? Yang nego ma gua barusan, yang bareng Johan. Lu lihat?”, tunjuknya ke arah pria bersetelan jas hitam tersebut yang bersama Johan. Aku mengangguk. “Orang itu namanya Hardi. Dia ngejagoin elu. Dia berani bayar 8 juta kalo lu bisa ngalahin petarung Brazil-nya si Johan, dan gua udah deal ama dia mengenai harga negosiasi ini.”, lanjutnya lagi sambil menegaskan hasil negosiasi tersebut. Aku melihat ke arah pria itu. Dia balas melihatku dan tersenyum yakin kepadaku.
“Oke. Berapapun harganya, gua bakal tarung. Gak masalah buat gua.”, aku hanya berkata tenang. Menyetujui hasil negosiasi itu. “Hmm, oke lah kalo gitu. Sekarang, persiapin diri lu. Inget saran gua yang tadi di mobil. Oke?”, Ary mengingatkanku kembali akan sarannya di mobil tadi sebelum menepuk bahuku. Aku mengangguk mantap, mengiyakan bahwa aku mengingatnya.

  Aku berjalan ke tengah-tengah lingkaran kerumunan orang-orang ini sambil mengenakan MMA gloves milikku sendiri. Kedatanganku disambut dengan ricuh oleh sebagian besar mereka yang menganggap bahwa aku pasti akan kalah.hanya sebagian kecil dari kerumunan ini yang mempertaruhkan uangnya untuk kemenanganku. Beberapa dari mereka sudah bersiap-siap memasang taruhan. Aku hanya berdiri tenang, fokus untuk pertarungan ini. Sedari tadi sudah kuacuhkan cemooh maupun kericuhan mereka. Kumasukkan mouth piece ke dalam mulutku sebagai pelindung gigiku. Yang kutunggu saat ini hanyalah satu.... ORANG BRAZIL itu.

  Pintu belakang mobil sedan itu pun dibuka oleh salah seorang penjaga yang berjaga di luar mobil. Sesosok manusia berjaket tudung dan celana training hitam keluar dari mobil. Ia berjalan gagah, namun santai, sambil meninju kedua kepalan tangannya yang mengenakan MMA gloves yang sama sepertiku, hanya saja berwarna dasar hitam dan hijau. Dari balik jaket bertudung hitam itu bisa kurasakan sorot mata yang tajam, yang sangat menginginkan pertarungan. Kedatangannya disambut sorak sorai oleh kerumunan ini, sangat berbeda sekali dengan kedatanganku tadi. Sorak-sorai mereka membahana di area luas ini. Mereka menyorakinya seakan-akan bahwa hanya dialah seorang pahlawan. Sebagian besar dari kerumunan ini mempertaruhkan seluruh kemenangan mereka pada orang Brazil ini. Mereka yakin bahwa orang Brazil inilah yang akan menang. Dari sorak-sorai mereka bisa kuketahui bahwa nama orang ini adalah Da Silva. Rodrigo Da Silva.

  Da Silva kemudian melepaskan jaketnya sebelum menghampiri Johan.  Rambut aslinya ternyata gimbal dan diikat ponytail. Otot-otot tubuh bagian atasnya telah terbentuk dan lebih besar dari ototku, meskipun tidak sekelas binaragawan. Bisa kulihat juga punggungnya yang bertato ular bersayap yang melilit longgar sebuah pedang, Quetzacotl, salah satu dewa dalam mitologi kepercayaan suku Aztec dan Maya kuno di Amerika Selatan yang dipercaya sebagai dewa angin. Tato itu barangkali memiliki simbol tersendiri bagi Da Silva yang menandakan kepribadiannya  sebagai petarung, meskipun aku tak tahu apa maksud simbol tato tersebut baginya. Da Silva kelihatannya sedang membicarakan sesuatu dengan Johan sebelum akhirnya ia kembali menuju ke tengah-tengah arena bertarung ini.
  Da Silva mengulum mouth piece-nya sebelum bertarung. Kelihatannya laki-laki gimbal ini petarung yang tenang tapi serius. Itu yang bisa kubaca dari sikapnya sekarang ini. Kami berdua berjalan ke tengah arena ini. Saling menatap tajam satu sama lain. Bisa kurasakan perbedaan tenaga dan tekanan antara kami berdua, hanya dengan satu tujuan, bertarung sampai titik darah penghabisan. Da Silva menyodorkan kepalan tinjunya ke arahku, lalu mengangguk. Kusentuhkan kepalan tinjuku ke kepalan tinjunya, dan...

“MULAI!”

  Teriak seseorang yang bertindak untuk memimpin pertandingan ini. Tiba-tiba sebuah tendangan memutar ke belakang datang, membabat wajahku. Tendangan itu sangat cepat, dan secara refleks aku berhasil mengelak dari bahaya tersebut. Tapi, serangan itu masih berlanjut. Kaki kanannya yang tadi menyerangku kemudian kembali berayun dari samping yang otomatis membuatku segera menangkisnya cepat. Serangan pembuka tersebut sudah sangat cukup untuk membuatku terkejut.

  Pukulan cross kiriku pun segera mengincar wajahnya, namun berhasil dihindari olehnya. Kupaksa ia untuk bertarung jarak dekat. Setiap tendanganku datang berusaha mengenainya, tapi selalu luput. Ia lebih gesit daripada yang kubayangkan. Setiap seranganku berhasil dihindarinya dengan lompatan, salto, maupun gerakan menghindar akrobatik lainnya. Seperti seekor monyet. Di saat itu pula, ketika aku berusaha melancarkan spinning back kick dalam jarak dekat, Da Silva segera menemukan celah. Ketika tubuhku berputar ke belakang untuk menendangnya, Da Silva langsung mendorong pinggangku dengan punggungnya hingga membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh.

  Da Silva berhasil menjatuhkanku. Sebelum serangan berikut darinya datang, aku segera mencoba untuk berdiri, tapi satu tendangan berputar bak cakram darinya memaksaku untuk menundukkan badan sebelum akhirnya aku benar-benar bisa berdiri dengan cepat.Tanpa pikir panjang, segera kuayunkan pukulan hook kiriku yang menghantam  pipinya. Disusul dengan satu pukulan hook kanan yang tepat mengenai rahangnya dengan keras. Da Silva ternyata sangat cerdik. Sebelum seranganku yang berikutnya datang, push kick-nya segera mendorongku mundur sebelum ia berguling mundur ke belakang.

  Kedua mata kami saling memperhatikan gerakan masing-masing. Kuakui aku sendiri cukup kewalahan menghadapi Da Silva. Bisa kurasakan perbedaan teknik di antara kami berdua. Teknik kami masing-masing nyaris seimbang. Kerumunan orang-orang yang menjadi penonton ini bersorak-sorai meihat pertarungan kami berdua. Sebagian besar orang yang mendukung Da Silva segera berteriak ricuh memaksaku untuk kalah, sedangkan untuk Da Silva, mereka sangat mendukungnya, menyuruhnya untuk segera menyelesaikanku secepatnya. Sebagian kecil orang yang mendukungku segera memberiku semangat untuk segera menghabisi Da Silva.

  Da Silva pun mengitariku sambil melakukan ginga, kuda-kuda dalam capoeira. Tiada henti baginya untuk terus bergerak. Aku hanya berdiri dan mengitari poros di tempatku berpijak saat ini. Mengamati setiap gerakannya, sekaligus mewaspadai serangan tiba-tiba yang bakal dilancarkannya. Kami saling mengamati satu sama lain dalam jarak yang saling berjauhan.

  Dalam jarak yang berjauhan, tendangan saltonya yang mengincar bagian atas kepalaku datang secara tiba-tiba. Memaksaku untuk segera mengelak ke samping. Serangan mendadaknya berhasil mengejutkanku. Tapi, serangan itu belum berhenti sampai di situ. Dia memaksaku untuk terus mengelak dengan setiap tendangan berputar dan melingkarnya. Tanpa memberiku celah untuk bergerak bebas. Kali ini Da Silva yang memaksaku bertarung jarak dekat.
  Aku berusaha memanfaatkan keadaan. Saat serangan beruntunnya terhenti, segera kulayangkan setiap tinjuku menuju wajahnya, namun sayang semua itu berhasil ditangkisnya. Da Silva sungguh tidak memberiku kesempatan untuk menyerang. Dia membatasi setiap gerakan maupun serangan, dan terus mendesak pertahananku. Da Silva kemudian berputar, kakinya berayun menyapu, mencoba untuk menjegal salah satu kakiku. Namun yang ada, justru sapuan tersebut memaksa untuk bersalto demi menghindari serangannya.     Tanpa pikir panjang, lutut kirinya segera menghujam hidungku begitu aku mendarat di atas tanah. Darah segar mengalir dari hidungku. Serangan lutut barusan membuatku pening sesaat. Bagaikan kawanan hiu yang belingsatan melihat darah, semuanya pun langsung bergemuruh sorak-sorai.
  Keadaan yang terpaksa ini membuatku mencoba untuk mundur dari serangannya, meskipun apa yang kulakukan ini justru menambah jarak serangannya. Mengingat bahwa capoeira juga adalah teknik bertarung yang memanfaatkan jarak jauh. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini, kudapatkan satu kesempatan. Aku segera melompat berputar begitu ia berusaha mendekatiku, hingga akhirnya, tendangan berputarku berhasil menghantam keras bagian depan wajahnya. Da Silva terhempas ke samping setelah menerima tendanganku barusan. Aku berhasil mengembalikan keadaan.

  Aku teringat kembali akan saran Ary agar aku harus mengunci setiap gerakannya. Aku kembali mendesaknya dengan jarak yang sangat dekat. Setiap pukulan kombinasi tinjuku berhasil mendarat tepat di pipi, hidung, dada, dan perutnya. Sekarang aku yang tidak memberinya kesempatan untuk menyerang balik. Begitu ia terdorong mundur dengan jarak yang cukup jauh, kumanfaatkan momen tersebut dengan langsung menyerang maju dan melakukan tendangan angin puyuh. Namun, Da Silva tetaplah petarung yang sangat jeli. Dia berhasil mengelakkan tendanganku dan melompat di hadapanku. Dia segera melancarkan drop kick dengan kedua kakinya, yang berhasil menghantam keras dadaku hingga terhempas mundur, sebelum akhirnya ia terjatuh mendarat di ata aspal yang keras ini.

  Da Silva membayangiku dengan maju sambil berputar menyamping di depanku. Melakukan gerak tipu untuk memaksaku melangkah mundur dengan cepat. Tendangan berputarnya pun datang sebagai penutup gerakan tipu ini. Begitu tendangannya berhasil kuelak, aku segera maju, melayangkan tinjuku ke arahnya. Sekali lagi, dia tetap petarung yang sangat jeli dan sangat bisa memanfaatkan keadaan. Entah pertarungan maupun strategi bertarung apa yang dilakukannya dalam setiap kerasnya pertarungan jalanan di Brazil. Dia sudah sangat cukup membuatku kewalahan. Kaki kirinya segera mengait lenganku. Menarikku paksa hingga aku terpelanting di atas aspal dengan sangat keras. Dalam posisi seperti itu, dimana aku terbaring akibat jatuh dan kaki kirinya masih mengait lengan kananku, di situlah ia secepatnya berusaha melakukan kuncian lengan, arm bar. Menyadari hal itu, aku segera menarik balik lengan kananku dengan lengan kiriku yang bebas. Tenaga kami berdua saling memaksa satu sama lain. Yang kulakukan sekarang ini adalah untuk mencegah agar lenganku tidak dipatahkan olehnya. Jika sampai lenganku patah, maka berakhirlah semuanya. Da Silva begitu gigih ingin segera menyelesaikan ini. Namun di saat itu juga, segera kuayunkan salah satu kakiku sekeras-kerasnya hingga menendang kepalanya. Membuat kuncian di lenganku terlepas sehingga aku bisa meloloskan diri.

  Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit. Kulakukan sedikit gerak tipu pada Da Silva. Aku bersalto ke arahnya, seakan-akan aku akan melakukan tendangan salto. Da Silva segera mengambil langkah mundur, terpancing oleh gerakanku bahwa aku akan menyerang. Segera kuubah gerakanku hingga berputar menyamping. Tendangan angin puyuh. Kaki kananku melayang tinggi dan menghantam keras di bagian pipinya, nyaris mengenai rahang. Membuatnya terpelanting keras ke samping sebelum akhirnya menghantam aspal dengan keras. Penonton yang mendukungku langsung berteriak kegirangan begitu melihatku berhasil menjatuhkan Da Silva. Seranganku berhasil menjatuhkannya dua kali,  meskipun Da Silva lebih mendominasi pertarungan ini.

Aku harus lebih berhati-hati.

Pukulan hook milikku langsung mengincar wajahnya begitu ia berusaha bangun. Dengan sigapnya, ia secepatnya menangkap tanganku. Melakukan counter attack. Sikutnya langsung berbalik mengincar wajahku. Da Silva lantas langsung menarik dan menghempaskanku. Namun, aku berusaha untuk lebih jeli lagi dari dia. Sebelum aku terhempas ke tanah, aku segera berguling untuk mencegah diriku terhempas di atas aspal yang keras ini. Aku segera bangkit, dan Da Silva berhasil mengambil kesempatan. Ia sudah lebih dulu menghampiriku. Belum sempat bagiku untuk berdiri sepenuhnya, kaki kirinya langsung mengait pergelangan kakiku, dan lutut kirinya segera mendorong pahaku dengan memanfaatkan kakiku yang terkait. Menjegalku, berhasil membuatku jatuh hilang keseimbangan, dan terguling ke belakang.

  Aku mencoba berdiri, dan mengambil jarak yang cukup jauh darinya. Badanku rasanya ingin rontok semua. Nafasku mulai kelelahan, tapi keinginanku untuk masih tetap ingin bertarung memaksaku untuk tetap melanjutkan pertarungan ini. Tidak ada jalan lain selain aku harus menyelesaikan pertarungan ini secepatnya. Aku mulai menyadari perbedaan antara diriku dengan Da Silva. Entah pertarungan jalanan keras macam apa yang sudah dilaluinya sampai membuatnya secerdik, segesit, dan sekuat ini. Berbekal kemampuan bertarungnya di jalanan ternyata telah membuat teknik capoeira menjadi berkembang seperti. Hanya difokuskan untuk bertarung, dan mencari kemenangan. Baru kali ini, dan baru pertama kali ini aku berhadapan dengan ahli capoeira, apalagi yang sehebat Da Silva sekarang ini.

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar